Follow us on:

Islam dalam Kesatuan dan Keragaman

Islam adalah selamat, Islam juga berarti penyerahan diri secara total kepada Tuhan.
Dan Islam juga adalah proses saling menyelamatkan antara satu dengan yang lain, dari kejahatan lidah
dan tangannya. Secara substansial, Islam bukan hanya status sosial, melainkan nilai atau perbuatan seseorang.
Agama Islam diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, bukan untuk menyalahkan ajaran-ajaran sebelumnya akan tetapi untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya yang lebih awal dibawa oleh para Nabi.
Seperti dikatakan oleh Sadr al-Din Shirazi, “Dari sisi ajaran dasarnya maka sesungguhnya agama yang dibawa oleh Muhammad itu bukanlah baru, melainkan kelanjutan dan penegasan kembali dari ajaran para utusan Tuhan sebelumnya”
Makalah ini mencoba menjelaskan apa yang disebut Islam itu satu atau tunggal. Akan tetapi kenapa dalam kenyataannya selalu menunjukan keberagaman? Kemudian kenapa dalam keberagaman ini, satu kelompok dengan kelompok lainnya saling mengecam, saling bersikap eksklusif. Mereka menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar, serta kelompok lain salah?
Latar Belakang
Islam memiliki Tuhan Yang Satu yaitu Allah SWT, dan memiliki doktrin yang satu yaitu al-Qur’an. Prinsip Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa (Tauhid), dan hanya satu-satunya Tuhan dan tidak bertuhan kepada selain-Nya, dan Nabi Yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya serta sebagai Nabi penutup adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, diikuti dengan sepakat oleh hampir seluruh umat Islam. Kesatuan iman dan keyakinan telah menyatukan landasan umat Islam dan menimbulkan system persaudaraan yang kuat dalam kehidupannya2.
Namun dalam memahami teks-teks suci (al-Qur’an dan Sunnah), berbagai kalangan Islam berbeda pendapat, disinilah akar tumbuhnya berbagai golongan dalam tubuh umat Islam. Perbedaan pendapat bisa disebabkan karena letak geografis, ataupun budayanya. Perbedaan penafsiran ini bukan hanya terjadi dikalangan Muslim dengan muslim lainnya, akan tetapi bisa terjadi dalam diri satu orang muslim. Contoh saja Imam Syafi’I, pendapatnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘qoul qadim’ dan ‘qoul jadid’ . qoul qadim dikeluarkan ketika beliau berada di Mekkah, sedangkan qoul jadid dikeluarkan ketika beliau berpindah ke Mesir, ini terjadi karena perbedaan budaya dan letak geografis. Jadi jangankan perbedaan pendapat antara satu muslim dengan muslim yang lain, perbadaan pendapat dalam seorang muslim pun bisa berbeda karena tempat dan waktu.
Walaupun manusia diciptakan memiliki potensi hidup yang beragam, tapi utnuk hal-hal yang bersifat prinsipil, umat Islam relative sama. Sepeti Tuhan Itu Allah, Nabi Muhammad itu nabi Terakhir, kewajiban shalat, haji, puasa di bulan ramadhan, adalah beberapa keyakinan dan praktek umat Islam yang sama. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an
Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”.(QS. 21:108)3
Yang sangat disayangkan dalam perbedaan pendapat ini, adalah sifat eksklusif yang ditunjukan oleh umat Islam, artinya mereka menganggap bahwa pendapat merekalah yang paling benar, dan pendapat orang lain itu salah, sehingga pertikaian atau debat kusir dikalangan umat Islam sering terjadi, sampai kepada saling mengkafirkan dan saling memurtadkan.
1.Pluralisme dalam pemahaman dan pengamalan Islam
Secara bahasa, pluralism berarti keberagaman dalam hal apa pun. Dalam tubuh kita pun beragam, tidak semuanya mata, akan tetapi ada hidung, bibir, rambut, lidah, dsb. Dari rambut saja  sudah beragam, ada yang gondrong, botak, hitam, pirang dan lain sebagainya. Oleh karena itu Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal dengan Cak Nun menyatakan bahwa “Pluralisme adalah hakikat hidup yang diciptakan oleh Allah SWT”
Keragaman dalam pemahaman Islam itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad masih hidup. Dalam hadits diceritakan, “Suatu saat Rasulullah menyuruh dua orang sahabatnya untuk pergi ke Bani Quraidhoh, Rasul berpesan kepada mereka berdua ‘janganlah kalian shalat ashar sebelum sampai di Bani Quraidhoh’. Maka kedua sahabat itu pergi menuju Bani Quraidhoh. sebelum sampai di bani quraidhoh, waktu shalat magrib hampir tiba, sedangkan mereka berdua belum shalat ashar. Maka sahabat yang satu berinisiatif untuk shalat ashar, karena ditakutkan waktu ashar habis, tapi sahabat yang satu ingat pesan Nabi, agar jangan dulu shalat ashar sebelum sampai di Bani Quraidhoh. Maka terjadilah perdebatan diantara mereka. Sehingga kedua sahabat itu melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah. Dan beliau menjawab ‘kalian berdua benar’”
Perbedaan pemahaman ini umumnya berupa perbedaan mengenai hal-hal yang tidak tersurat secara lengkap dalam al-Qur’an maupun sunnah, karena kedua teks suci tersebut memberi peluang yang sangat besar untuk mengembangkan kreativitas manusia dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupannya. Yang penting dia bisa bertanggung jawab terhadap pendapatnya.
Agar kita lebih memahami tentang perbedaan pemahaman ini, dalam Islam terkenal golongan teologi atau kalam, seperti Murji’ah, Asy’ariyah, Mu’tazilah, Jabariah, Syiah, dsb. Dalam fiqih terkenal beberapa mazhab atau golongan seperti Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali dsb. Kemudian dalam aliran Tasawwuf terkenal yang disebut Thoriqoh, seperti Tijaniah, Qodiriah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Sadiliah, dsb.
Keragaman tersebut, bukan hanya mengidikasikan bahwa Islam sebagai rahmat bagi setiap manusia (rahmatan lil alamin) yang sangat menghargai kemanusiaan. Lebih dari itu, bahwa “Perbedaan diantara umatku, kata nabi, adalah rahmat”. Legalitas ini bukan saja memperkuat fakta historis dan empiris, tetapi benar-benar valid. Kenyataan ini terjadi pada berbagai Negara, terutama Negara-negara yang menganut dan megakui multikulturalisme seperti indonesia3. Indonesia memiliki organisasi-oraganisasi keagamaan besar seperti Persis, NU, Muhammadiyah, Serikat Islam, dsb.
Pada tahun-tahun sebelumnya, terjadi perbedaan dalam penetapan 1 Syawal pada masyarakat Islam di Indoneisa. Akan tetapi, kejadian serupa bukan satu atau dua kali terjadi, yang disebabkan perbedaan penggunaan cara antara yang mendahulukan hisab dan rukyat. Sulit untuk menentukan mana yang (paling) benar, karena pada akhirnya tidak bisa dipersalahkan, sebab penilaian terhadap kedua cara tersebut pada akhirnya  akan sampai pada kesimpulan yang berbeda juga. Yang paling penting dikedepankan adalah sikap saling menghargai, menghormati dan memaklumi setiap perberdaan. Umat Islam di Indonesia,dikenal sebagai umat Islam terbesar di Dunia, maka wajar kalau Indonesia menjadi “sarang” bagi lahirnya perbedaan. Hal demikian seharusnya menjadi permakluman semua orang, Umat Islam. Karena, bukankah cara apa pun yang ditempuh dengan konsekwensi keberbedaan kesimpulan, semua orang atau kelompok agama pada awal dan ujungnya berpijak pada tujuan yang sama, yaitu ketakwaan kepada Allah demi!
mencapai keridlaan Allah. Seperti yang pernah dikatakan Nietzhe salah satu filosof barat, “Silahkan kamu mengembara, dan aku pun mengembara, tapi kita akan bertemu di titik yang sama”
2. Faham  Ekslusifime. Keberagaman dalam Islam tidak selamanya damai, tetapi sering terjadi konflik akibat sifat eksklusifisme dari sebagian golongan dalam Islam. Mereka menganggap bahwa golongannya yang paling benar, dan golongan lain itu salah. Dan tidak sedikit juga kelompok Islam, yang suka mengkafirkan orang, karena perbedaan pendapat. Sebut saja Ust. Tamimi salah satu penganut ajaran Wahabi, bagaimana dia mengkafirkan Ulil Abshor Abdala dalam forum diskusi di UIN Jakarta. Padahal Ulil Abshor adalah orang yang selalu sembahyang dan beribadah, namun karena pendapatnaya berbeda dia dikatakan kafir oleh orang Wahabi ini.
Secara tidak disadari ilmu Dajjal itu telah masuk kedalam tubuh umat Islam. Ilmu Dajjal itu mata satu, tapi kemadhorotannya beribu-ribu. Yakni ilmu membelah. Hitam dan putih, sana dan sini, kerabat dan asing, kita benar mereka salah. Mohammed Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
keberagaman atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS.49:13)4
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Surat lain menegaskan bahwa perbedaan pendapat ataupun golongan, justru hendaknya menjadi penyemangat untuk saling berlomba menuju kebaikan. Kelak di akhirat, Allah lah yang akan menerangkan mengapa dirinya berkehendak seperti itu dan keputusan yang paling adil di tangan-Nya (QS. 5:48)5
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Dengan demikian bagi umat Islam, perbedaan pendapat bukan alasan yang kuat untuk terjadinya perpecahan dan saling mempersalahkan. Umat Islam kini telah banyak belajar berhadapan dengan dan mengalami perbedaan-perbedaan tersebut. Biasanya, perbedaan baru mencuat menjadi pertentangan dan perpecahan dalam masyarakat tatkala terdapat campur tangan politik antar golongan di dalamnya.
Perbedaan pendapat dalam Islam, merupakan proses menuju kalimatun sawa. Dan di sisi lain, perbedaan juga secara teologis merupakan penampakan Allah sebagai dzat Yang Maha Agung. Sebagai sebuah proses, perbedaan pendapat akan menjadi kekuatan dialektis yang apabila disikapi secara positif akan menjadi gemuk bagi lahirnya gagasan yang lebih memperkaya khazanah pengetahuan. Kaya dengan sejumlah alternatif  metodologis dengan tanpa adanya sikap pemutlakan terhadap suatu metode tertentu, karena terlahir dari pengalaman dan perenungan yang beragam. Sehingga kita tidak punya hak untuk memvonis bahwa pendapat orang lain itu salah, dan pendapat kita benar. Karena nanti Allah yang akan mengadili kita siapa yang benar dan siapa yang salah.
Yang paling disesalkan dalam perbedaan pendapat ini adalah begitu mudahnya kita mengkafirkan dan mensyirikan apa yang orang lain ucapkan atau kerjakan, padahal menilai kejahatan atau kemuliaan seseorang, tidak bisa diukur dengan cara melihat peristiwanya saja. Melainkan juga harus dilihat juga kaitannya dengan sebabnya, asal-usulnya, konteks yang melatarbelakanginya, bahkan kandungan niat dalam hatinya yang sunyi dan rahasia.
Contoh saja ketika almarhum Gus Dur mengucapkan “al-Qur’an adalah kitab yang paling porno” maka Hartono Ahmad Zaiz menghukumi Gus Dur sebagai orang yang menghujat al-Qur’an dan menghina Islam. Padahal pernyataan Gus Dur ini adalah sindiran bagi umat Islam. Gus Dur mengatakan ini karena melihat perlakuan Umat Islam terhadap al-Qur’an, yang hanya dijadikan pajangan di lemari, dan jarang dibaca kembali. Maka ketika Gus Dur mengeluarkan statcment bahwa “al-Qur’an adalah kitab yang paling porno”, umat Islam penasaran terhadap pernyataannya, dan akhirnya mereka kembali membuka dan mengkaji al-Qur’an.
Penutup
Bagi Umat Islam, kekayaan akan kelompok masyarakat beragama dengan beragam pemahaman semestinya menjadi alternatif bagi penyelesaian sejumlahpersoalan yang dihadapinya. Karena, tentunya setiap kelompok masyarakat agama memiliki cara yang khas untuk setiap persoalan yang berbeda. Bila demikian, keberbedaan atau pluralitas pemahaman dan pengalaman keagamaan pada akhirnya akan menjadi benteng paling kokoh dalam menahan terpaan krisis apa pun yang dialaminya. Bukan malah menjadi benalu yang memperlemah dan menggerogoti pertahamanan dan kekebalan masyarakatnya. Banyak hal yang bisa dipelajari dari apa yang dialami dan dilakukan satu kelompok agama oleh kelompok agama lainnya tanpa merasa risih.
Potensi tersebut bisa muncul tentunya bila setiap kelompok masyarakat beragama tidak mengkalim dirinya sebagai kelompok yang paling istimewa atau lebih baik dan lebih benar dari kelompok lainnya. Bila umat Islam yakin bahwa diantara sesama muslim adalah bersaudara dan ibarat satu bangunan yang satu bagian memperkokoh bagian yang lainnya, maka tidak akan ada klaim diri sebgaai yang paling baik. Karena, bukankah tidak ada bangunan yang terdiri dari unsur yang sama? Seperti juga halnya dengan pemahaman keagamaan, keseragaman justru memperlihatkan hilangnya dinamika dan miskinnya pengalaman yang telah dilaluinya