NILAI SEBUAH HARGA DIRI
Dari ufuk timur semburat merah mulai merayap naik dari balik gumpalan  awan yang gelap. Suasana pagi itu masih diselimuti kabut dingin karena  hujan baru reda beberapa saat. Hawa dingin masuk ke sel kami melalui  celah diantara jeruji besi yang kokoh. Hawanya masih terasa menusuk  tulang sumsumku. Ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi yang kami tempati  makin pengap dengan aroma lantainya yang lembab.  
Sayup-sayup terdengar azan subuh dari mushola Lembaga Anak Nakal Tangerang.  
"Daeng, bangun Daeng" suara Maman mengusik mimpiku.  
"Jam  berapa sekarang?" sahutku, seraya tanganku mengucek kedua belah mataku.  "Kurang lebih setengah lima, Daeng" jawabnya. "Ayo sholat dulu"  ajaknya.  
Segera aku bangkit dari tidurku, lalu kulipat kembali  tikar plastik pemberian kakakku sebagai alas tidur yang sudah kelihatan  lusuh. Bergegas aku menuju kamar mandi lalu berwudhu dan begerak bersama  kawan lain ke mushola untuk menghadap Sang Pencipta.  
Sebagian  besar teman-teman di lembaga ini memanggilku Daeng, sebutan anak asli  Bugis, Makasar. Padahal nama asliku Syarifudin. Katanya sih panggilan  itu lebih gagah, aku sih terserah mereka saja.  
Hari ini adalah  genap dua tahun aku menghuni Lembaga Anak Nakal, ini setelah suatu  peristiwa tragis yang tak mungkin kulupakan dan telah menyeret diriku  sebagai salah satu penghuni tempat ini.  
Aku terpaksa pindah ke  Jakarta dari daerahku untuk mengikuti kakakku yang berprofesi sebagai  pedagang. Aku terpaksa ikut karena tinggal dialah angota keluargaku  sepeninggal ayah dan ibuku karena suatu kecelakaan yang merenggut  nyawanya. Semenjak aku ikut kakakku, aku bertekad untuk tidak  menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padaku untuk melanjutkan  sekolah atas biayanya.  
Hari-hari pertamaku di SMA Bhineka agak  merepotkanku. Ini karena bahasa daerahku yang masih kental. Maka tak  jarang yang aku ucapkan kurang begitu dimengerti oleh kawan-kawanku.  
Tetapi  mereka cukup memaklumi dengan keadaanku. Maka tak heran kalau mereak  jarang mengajakku bersendaru gurau, habis kadang suatu pembicaraan  dianggapnya lucu tapi aku sendiri tidak merasa lucu.  
Tapi  bagaimanapun suka atau tidak suka aku tetap harus mengikuti kedaan  karean aku berada di lingkungan orang lain yang notabene mereka akan  menjadi kawanku kelak. Tinggal bagaimana aku menyesuaikan diri dengan  keadaan tersebut.  
Suasana istirahat hari itu sangat riuh dengan  berbagai tingkah laku anak-anak kelasku. Aku yang masih berstatus anak  baru masih belum berani bergaul dengan yang lainnya, makanya aku cuma  banyak bediam diri di kelas sambil memperhatikan tingkah laku mereka.  
"Din,  kamu lagi ngapain?" suara Ani sedikit menggetkanku. Ani adalah  sahabatku yang pertama di SMA ini, dia pula yang pertama kali menawarkan  tempat duduk buatku pada hari pertamku.  
"Lagi duduk-duduk saja"  sahutku seraya mempersilakan duduk. "Kok kamu nggak ikut gabung sama  mereka?" tanya lagi, sesekali tangannya sibuk menyibakkan rambutnya yang  selalu jatuh tergurai menutup wajahnya yang manis.  
"Aku belum biasa dengan mereka, lagipula aku takut nanti cuma menggangu saja" sahutku perlahan.  
Aku  memang ingin juga bergaul dengan yang lainnya cuma sebagai anak baru  harus tahu dirilah. Cuma Ani saja yang kadang mengajakku ngobrol,  ngobrol apa saja, yaa tentang kehidupanku di Makasar, tentang lingkungan  baruku dan macam-macam lagi. Namun kedekatanku dengan Ani dianggap lain  oleh Rudi, kawan kelasku yang kabarnya dia naksir berat sama Ani, namun  belum kesampaian. Habis Ani nya sendiri cuek bebek sama Rudi.  
Sejak  hari pertama aku masuk, aku sudah memperhatikan Rudi. Dia sepertinya  termasuk siswa yang sedikit urakan, dari penampilannya yang gondrong dan  tindikan anting di telinga kanannya. Khabarnya dia dari keluarga broken  home. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan kini ia tinggal bersama  ibu dan ayah tirinya.  
Suatu ketika aku kebetulan aku lagi sendiri  di kelas saat istirahat, tiba-tiba Rudi dan dua temannya masuk dan  menghampiriku. Tanpa permisi sedikitpun dia langsung duduk di mejaku dan  meletakkan kakinya di atas kursiku. Aku yang melihatnya sedikit gerah  dengan sikapnya itu tapi aku coba untuk bersabar.  
"Gua liat lu kayaknya suka sama Ani, ya?" tanyanya dengan logat Jakarta seraya tangannya memainkan sebatang rokok.  
"Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ani" jawabku tegas. "Kagak ada hubungan gimane?"sergahnya.  
"Udah  ngaku aja, kalau elu emang suka sama Ani!" cerocosnya dengan nada yang  makin tinggi. Matanya yang tinggal segaris sedikit dipaksakan untuk  memelototiku.  
Aku yang melihat perubahan pada omongannya sedikit  terpancing emosi, segera aku berdiri dari tempatku. Kutatap matanya  dengan tatapan yang tajam. Tanganku menegapal erat hendak menghajar  mulutnya yang congak.  
Namun belum sempat hal itu terjadi tiba-tiba  bel berbunyi. Anak-anak segera berhamburan masuk ke dalam kelas.  Bersamaan dengan itu Rudi dan temannya ikut bergerak meninggalkanku,  namun dengan sedikit ancaman.  
"Kalau lu masu dekat-dekat sama Ani,  awas!!! ancamnya sambil mengacungkan tinjunya ke arahku. Ani yang  kebetulan masuk terakhir sempat melihat kejadian itu mulai mengorek  keterangan dariku setelah dia sudah duduk di sampingku.  
"Mau ngapain dia dekatin kamu?" tanyanya penuh selidik. "Nggak ada apa-apa!" jawabku sangat singkat.  
Jawabanku  yang sedikit ketus itu membuat Ani diam, dia tak berani ajukan  pertanyaan lagi. Wajahku masih memerah dan degup jantungku masih  berdetak kencang, sepertinya aku hampir tidak dapat mengendalikan  emosiku. Namun secara perlahan aku sudah mulai dapat mengendalikan  emosiku. Akupun sadar kalau aku masih anak barudi sekolah ini.  
"Aku tak ingin studiku kacau cuma karena masalah sepele" pikirku.  
Ani  yang melihat perubahan pada diriku kembali mengintograsiku bak maling  ayam yang baru ketangkap basah. "Bener kamu nggak ada masalah dengan  Rudi?" tanyanya sedikit berbisik, takut kalau-kalau Pak Tobing, guru  Fisika ku yang galaknya minta ampun mendengar percakapan kami. Kalau dia  sempat dengar ada yang berbisik waktu mata pelajaran dia, jangan heran  kalau penghapus kayu itu bisa landing dengan sempurna ke kepala.  
"Cuma masalah sepele, kok "  
"Sepele gimana?"  
Aku  cuma terdiam dan tidak menjawab lagi, habis Pak Tobing menoleh ke  arahku sedikit curiga setelah dia merasa ada suara seperti tawon kumpul.  Ani kelihatan kesal dengan sikapku. Akupun jadi tidak tega melihatnya  cemberut.  
"Kamu janji tidak marah kalo aku ceritakan masalahnya?" bisikku yang disambut dengan anggukan kepalanya.  
Lalu  kuceritakan ihwal permasalahannya dari awal sampai akhir. Pelajaran  Fisika yang saat itu kami hadapi tidak begitu kami hiraukan. Ani  kelihatan antusias sekali.  
"Trus tanggapan kamu bagaimana? tanyanya ketika aku mengakhiri ceritaku.  
"Tanggapan bagaimana?" aku balik bertanya. "Ya mengenai ancaman itu"  
"Kalau itu sih aku tidak terlalu ambil pusing, lagian aku sama kamu memang tidak ada apa-apa, iya khan?"  
Ada sedikit perubahan pada wajah Ani ketika aku menjawab pertanyaan itu.  
"Dan kalau dia marah lagi, apa urusannya" jawabku sedikit diplomatis.  
"Tapi  kalau bisa, kamu jangan sampai bentrok fisik sama Rudi, ya? pintanya  sedikit berbisik nyaris tak terdengar olehku."'Dia itu anaknya brengsek  dan kalau ribut suka bawa teman-temannya, makanya aku khawatir kalau  kamu sampai ribut sama dia" pintanya lagi.  
"Aku janji untuk tidak melayaninya lagi kok" jawabku untuk mengurangi rasa khawatir pada diri Ani.  
Ani  tersenyum tatkala aku mengatakannya sebersit senyum manis terpancar  dari bibirnya yang mungil. Lesung pipitnya yang aduhai makan menambah  manis wajahnya yang memang sudah manis. Aku yang memperhatikannya tidak  melewatkan saat-saat itu sampai aku sedikit grogi dan tidak  memperhatikan Pak Tobing yang siap melayangkan penghapusnya. Untung saja  bel berbunyi dan selamatlah daku.  
Waktu terus bergerak laksana  roda pedati yang terus berputar. Banyak hal-hal yang baru aku temui  sejak aku tinggal di Jakarta, sama halnya dengan kejadian-kejadian yang  aku alami di SMA Bhineka.  
Tak terasa aku sudah satu bulan menjadi  siswa di SMA Bhineka. Hubungaku dengan teman-teman satu kelas sudah  mulai dekat meskipun belum begitu akrab. Namun untuk sedikit ngobrol,  mereka suka mengajakku, walaupun kadang logat daerahku masih sering  muncul.  
Ada satu hal yang belum aku bisa lepaskan dari diriku.  Yaitu kebiasanku membawa badik. Badik pemberian pamanku tatkala ku  hendak meninggalkan kampung halamanku. Katanya sih untuk jaga diri di  negeri orang. Akupun sering dinasehati oleh kakakku untuk tidak membawa  badik itu.  
"Tapi bagaimana dengan pesan paman?" jawabku yang hanya  ditanggapi oleh diam seribu bahasa kakakku pada suatu malam selepas kami  sholat maghrib.  
Ada satu hal lagi yang belum bisa aku selesaikan,  yaitu Rudi.Ya, Rudi anak lama yang masih menyimpan dendam amarah padaku.  Padahal aku sendiri merasa tidak punya masalah dengannya. Sudah  beberapa kali dia berusaha memancing aku untuk duel, cuma aku tanggapi  saja dengan dingin.  
Dan terkadang kawan lainya ikut melerai, aku  pun berusaha untu tidak melayaninya selama kehormatanku tidak  diinjak-injak. Namun puncak kesabaranku akhirnya pecah pada suatu pagi  tepat pukul 09.15 tatkala Pak Martomo, guru kimia kami tidak bisa  mengajar. Ketika aku lagi asyik ngobrol dengan Ani menunggu Faisal sang  ketua kelas yang baru mengambil tugas kimia di ruang guru, tiba-tiba  saja Rudi masuk ke kelas dengan sedikit sempoyongan.  
Aroma alkohol  menyebar bersamaan masuknya Rudi ke dalam kelas. Matanya tampak merah  akibat kebanyakan minum. Di tangannya tergenggam sebatang pipa besi. Aku  dan kawan lainya heran, apa yang akan diperbuatnya.  
"Hai banci!" teriaknya sedikit terhuyung seraya pipa itu ditunjukkan ke arahku.  
"Kalau  lu bukan banci, lawan aku sekarang!" teriaknya lagi dengan sedikit  parau. Aku yang merasa ditunjuk jadi emosi. Belum pernah aku dibuat  semalu itu di depan umum. Rasa kehormatanku seakan tertohok oleh  kata-katanya. Sebagai Putra Bugis pantang bagiku untuk dibuat malu di  depan umum.  
"Siapa yang banci!" jawabku lantang tidak mau kalah dan  berdiri di depannya sambil menatap matanya yang makin sayu karena  pengaruh alkohol. Ani dan yang lainya segera menghindar berlarian menuju  ruang guru. Namun aku tetap berusaha untuk menjaga emosi jangan sampai  aku terpancing olehnya, karena aku memang nggak ada masalah dengannya.  
Baru  saja aku hendak menarik nafas sebagai cara menenangkan diri, tiba-tiba  Rudi mengayunkan pipa besi itu ke arah kepalaku. Segera aku menghindar  dan secepat kilat aku meraih sesuatu dari bajuku, dan ....  
"Cressss"  
Badik  pemberian pamanku itupun menancap tepat di dada Rudi. Mulutnya  mengerang kesakitan, matanya terbelalak, tangannya memegangi badikku  yang telah menancap di dadanya. Darah segar mengalir deras dari dadanya  membasahi baju putihnya. Seiring dengan itu ia pun goyah seketika. Kedua  kakinya seperti tak kuasa meopang tubuhnya lalu ambruk ke lantai.  
Rupanya  tusukanku tepat megenai jantungnya. Dia tak begerak sedikitpun. Darah  mengalir dari bekas tusukanku. Suasana kelasku jadi kacau, anak  perempuan berteriak histeris seakan tidak percaya dengan semua ini. Aku  yang barus saja menikamnya berdiri menatap wajah Rudi. Tidak ada lagi  keangkuhan lagi di wajahnya. Hilang sudah kesembongannya yang selama ini  dia agungkan. Namun tiba-tiba saja ada rasa gejolak yang memberontak  dalam relung kalbuku. Ada rasa penyesalan dan rasa kasihan yang timbul,  tapi ....  
"Daeng lagi ngapain?" suara Maman kembali mengagetkanku  dari lamunan masa laluku yang kelam. "Ingat kejadian dual, ya?" tanyanya  lagi sambil ikut duduk di sampingku. "Orang seperti Rudi itu memang  harus diberi pelajaran biar tidak kurang ajar" ujarnya, sambil mulutnya  asyik mengunyah sepotong roti dan tangannya memegang secangkir kopi yang  masih hangat.  
"Kamu nggak usah pikirkan lagi, lagian kamu kan  membela kehormatanmu sebagai orang Bugis" ujarnya lagi lalu menyeruput  kopi hangatnya. Nikmat.  
"Tapi ....."  
"Ala ... sudahlah nggak  usah dipikirkan" sahutnya sambil menarik tanganku untuk menikmati saran  pagi di ruang makan. Namun bagaimanapun aku tetap menyesali perbuatanku,  karena aku telah menghilangkan nyawa seseorang.  
Seseorang yang  sebenarnya masih ada pertalian darah dengaku, karena Rudi adalah saudara  tiriku yang telah lama berpisah denganku sejak bayi. Rudi diasuh oleh  ibunya yang hijrah ke Jakarta setelah bercerai dengan ayahku. Rahasia  ini aku ketahui setelah kakakku yang menceritakannya padaku setelah aku  menghuni lembaga ini.
Tapi penyesalan tinggalah penyesalan. Nasih sudah jadi bubur. Biarlah  aku menjalani sisa masa tahanku yang entah berapa lama lagi akan aku  selesaikan. Aku berjanji untuk menemui keluarga Rudi selepas masa  tahananku untuk meminta maaf akan kesalahanku. Dan harapanku semoga  kesalahanku ini dapat dimaafkannya. 
 
