Follow us on:

Menaklukkan 9 Bukit dan 18 Sungai demi Dakwah


Sampai tahun 2006 lalu, masih ada warga Nusantara yang hanya mampu makan nasi garam. Itulah warga Kampung Wayuanin, Desa Uren, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Penduduk Wayuanin termasuk Suku Dayak Meratus disebut juga Suku Bukit, atau Suku Melayu Bukit, atau Suku Dayak Bukit -- menunjuk pada suku asliyang mendiami pegunungan Meratus. Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Mereka tersebar di beberapa kecamatan yang melingkari Pegunungan Meratus di Kabupaten BalanganHulu Sungai TengahHulu Sungai SelatanTapinBanjarTanah LautTanah Bumbu, dan Kabupaten Kota Baru.


Menurut Cilik Riwut, Suku Dayak Bukit merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju sendiri merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju.

Kemiskinan rakyat Wayuanin berjalin-berkelindan dengan kebodohan yang membekap mereka. Sampai Juni 2005, warga di sana yang berjumlah 119 KK atau 512 jiwa, semuanya buta huruf.

Maklumlah, Wayuanin tidak ada di Peta Indonesia. Untuk mencapai kampung ini dari Desa Uren yang terdekat dengannya, hanya bisa dengan berjalan kaki sejauh 30 km selama 12 jam, menaiki dan menuruni 9 bukit, serta menyeberangi 18 sungai deras berbatu cadas. Perlu entah berapa sandal dan sepatu bagi orang kota yang coba-coba menempuhnya.

Tak heran bila sampai abad XXI, masyarakat Wayuanin tetap dalam keterasingannya. Mereka menjalani hidup sehari-hari sekadar untuk survive.

Kepercayaan kaharingan Dayak Bukit, agak berbeda dengan Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, yang banyak menekankan ritual upacara kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen. Suku ini juga tidak mengenal tradisi ngayau yang menjadi tradisi kebanyakan suku Dayak.

Upacara ritual suku Dayak Bukit salah satunya adalah aruh bawanang. Tarian ritualnya babangsai untuk wanita dan tari kanjar untuk pria.

Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuknya melingkar dengan altar atau panggung di tengah-tengah untuk meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni beberapa kepala keluarga. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun.

Suku Dayak Bukit tradisional mempercayai tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal mereka yang memang termasuk desa tertinggal.

Untunglah, ada da’i Dewan Da’wah dari Desa Gunung Riut yang bersedia menembus Wayuanin. Namanya Ustadz Raihan (43). Juru dakwah asal Kampung Tabalong Mati, Desa Pihauang, Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, ini bergabung dengan Dewan Da’wah Perwakilan Kabupaten Hulu Sungai Utara sejak tahun 2000 di bawah kepemimpinan H Mahmuddin.

Raihan mengawali ‘’berdinas’’ di Desa Gunung Riut, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan. Di sini, Raihan yang alumnus Pondok Pesantren Darus Salam Martapura, membina jamaah Masjid Misbahul Munir dan Mushola Nurul Aman yang kini memiliki 30-an santri TPA. Ia juga mengajar di MIS (Madrasah Ibtidaiyah Swasta) Nurul Ilmi yang sekarang muridnya 60 anak dengan 10 guru.

Suami Norhayati dan ayah seorang putra ini, masih juga menjadi pembina Masjid Al Furqan di Desa Uren. Di sini ada 20-an santri TPA yang diajar 3 guru.

Sejak Juni 2005, Ustadz Raihan (43) berkomitmen menyedekahkan sebagian hidupnya untuk membina Dayak Meratus Wayuanin.

Sampai kini, setengah bulan sekali Raihan mengunjungi warga Wayuanin. Di sana ia menginap sepekan sampai 15 hari.

Selain mengajar agama, Raihan yang tamatan SMA juga mengajar baca-tulis dengan target memberantas buta huruf. Kegiatan ini dilakukan di bekas camp PT Bina Alam Lestari --sebuah perusahaan pemegang HPH—yang dinamakan SD Kecil Wayuanin.

Murid angkatan pertama berjumlah 27 anak. Kini sudah mencapai 42 anak, yang duduk di kelas I sampai III.

‘’Alhamdulillah, sudah 10 orang memeluk Islam,’’ tulis Raihan dalam laporan terakhir yang diterima Dewan Da’wah Pusat. Empat diantaranya ia angkat sebagai anak asuh. Mereka tinggal bersama keluarga Raihan di Gunung Riut, dan melanjutkan pendidikan di MIS Nurul Ilmi setempat yang dipimpin Raihan. Nama baru keempat kader Raihan ini masing-masing adalah: Syamsuddin (13), Yadiansyah (12), Rahmat (12), dan Budiansyah (12). Raihan berharap kader-kader ini juga mendapat bimbingan ketrampilan pertanian dan kealaman, sehingga dapat menjalankan dakwah bil hal.

Pada April 2006, kunjungan Raihan ke Wayuanin diiringi langsung oleh Camat Halong Akhmad Fauzi, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Edi Yulianto, dan Kepala UPT Disdik Halong Hamdani. Sejumlah wartawan pun turut menyertai mereka.

Tak ayal, profil dan pengabdian Raihan kemudian terkabar di beberapa media massa. Da’i yang menerima honor Rp 100 ribu sekali kunjungan ke Wayuanin, ini cukup senang dibuatnya.